Rabu, 16 November 2011

Lelaki Bodoh dan Lelaki Baik

Bandung, 22 Desember 1995
06.00, Cihampelas-Bandung

Prolog

Wajah enam pemuda di kamar kost saya yang berukuran 4 x 4 cm terlihat serius dan was-was. Ketakutan mencekam hati setiap orang di kamar ini. Kita sedang membahas kejadian yang baru saja kami alami.
"Gimana ya kalo dia melapor ke polisi?" tanya Peter sambil di sela-sela asap rokoknya yang mengepul. Mukanya terlihat gundah.
"Tapi dia juga mau kok, bukan salah kita," kata Andi mencoba membela diri dengan nada yang tidak begitu meyakinkan.
"Untung gua nggak ngelakuan apa-apa," komentar saya bersyukur.
"Ah, siapa yang tau? Lagipula di mata hukum loe juga bersalah tau, siapa yang menyaksikan kejadian yang melanggar hukum tanpa berusaha mencegah kejadian tersebut sama saja dengan melakukan kejadian tersebut," sela Peter, yang kesal oleh pembelaan diri saya.
Kita semua kemudian terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Gus, loe kayaknya lelaki paling goblok yang pernah gua temui," tiba-tiba Peter memberi komentar mengenai apa yang baru saja saya lakukan.
Saya termenung, baru beberapa jam lalu seorang cewek mengatakan bahwa saya adalah lelaki yang paling baik yang pernah ia temui. Apakah lelaki baik sama dengan lelaki bodoh?


Bab I: Pertemuan Enam Sekawan
Bandung, 23 Desember 1995
17:30, kampus x

Dengan tergesa-gesa saya memasukkan buku saya ke dalam tas. Kuliah terakhir di tahun 1993 baru berakhir. Mata kuliah Konstruksi Bangunan yang biasanya sangat menarik bagi saya terasa seperti siksaan hari ini.
Iya, empat orang temen saya yang kuliah di Jakarta akan datang ini. Bayangkan, dengan satu temen saya lainnya yang kuliah di Bandung, malam ini merupakan reuni terbesar kita sejak berpisah dua tahun yang lalu. Mereka adalah temen-temen saya sejak SMA, temen main saya, temen saya ketika masih hijau, temen saya ketika masih saya belon mengalami pahit dan kerasnya kehidupan ini.
Tanpa menghiraukan temen kuliah lainnya saya segera memacu Suzuki Katana saya menuju tempat kost saya di jalan Cihampelas. Mereka akan tiba jam 18:00. Tetapi keinginan untuk segera tiba di kost tertunda oleh kemacetan di jalan Cihampelas. Saya memperhatikan mobil-mobil di sekitar saya yang sebagian besar ber-plat B.
"Uh...." pikir saya dengan perasaan sebel, "Penduduk Jakarta hanya membuat kemacetan di mana-mana".
Cewek-cewek cakep yang lalu lalang tidak saya perhatikan lagi. Biasanya saya selalu memperlambat mobil saya sambil cuci mata. Siapa tau ada yang mau ikut.... hihi....

Di kost ternyata temen-temen saya sudah menunggu. Ada Peter (tokoh ini pernah hadir di cerita Ketika Nafsu Menjadi Raja), Andi (tokoh ini pernah hadir di cerita Semerbak Teratai di Kolam Berlumpur), Ian, Stephen yang baru tiba dari Jakarta. Terlihat juga Guntur yang kuliah di universitas negeri di kota ini. Lengkap sudah dech.
"Wah, datang juga loe akhirnya...." Kata Peter ketika melihat saya, "Give me five!"
"Haha..." saya melayangkan telapak tangan saya yang terbuka untuk menepuk telapak tangannya Peter. Dia ini temen saya yang paling badung, playboy, dan aktif. Bersama dia, hidup menjadi ramai.
"Kecantol belon ama Mojang Priangan?" tanya dia.
"Udah dong," sahut dia, biar dia penasaran aja. Padahal belon ketemu tuh.
Akhirnya kita mengobrol panjang lebar di kamar saya yang tidak terlalu luas. Pembicaraan berkisar mengenai kuliah, temen kuliah, dan masalah cewek tentunya. Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam ketika kita sepakat untuk makan malam.
Menumpang dua mobil, akhirnya kita menuju Ayam Goreng Semar di dekat jalan Pasir Kaliki. Warung di pinggir jalan ini penuh sesak oleh pengunjung. Memang warung ini merupakan salah tempat makan untuk cukup dikenal di Bandung.
Selesai makan, kita menuju jalan Dago untuk duduk dan ngeceng di KFC - Gelael. Banyak cewek manis yang lalu lalang, tetapi tidak ada yang memberikan isyarat lewat tatapan mata mereka. Akhirnya jam 11 malam kita sepakat menuju diskotik yang berlokasi di jalan Cihampelas.


Bab II: Shinta dan Agnes
Jam 23.00, Diskotik SE, Cihampelas Bandung

Diskotik yang terdiri dari dua lantai ini masih terlihat sepi, maklum jam 11 malam masih terlalu pagi bagi kalong-kalong malam untuk keluar menikmati kilau lampu diskotik. Mata saya segera berkeliaran mencari mahluk yang namanya cewek. Terlihat beberapa orang cewek sedang menikmati musik di lantai disco. Tetapi nggak ada yang menarik perhatian saya.
Kita akhirnya setuju untuk duduk di meja yang berdekatan dengan lantai disco dengan harapan banyak cewek yang akan lalu lalang melewati meja kita. Maklum aja toilet diskotik ini terletak di depan, satu-satunya tempat berdandan buat cewek di tempat yang gelap ini ya di toilet. Jadi mereka biasanya selalu mondar mandir ke toilet.
Saya dan temen-temen saya memesan bir. Kerasnya musik di diskotik ini tidak menghalangi kita untuk mengobrol, walaupun harus berteriak. Tanpa terasa ruangan diskotik semakin rame, meja-meja hampir seluruhnya terisi dan lantai disco terlihat sesak oleh ramainya orang yang berdisco.
Mata saya kembali bekerja, dua orang cewek yang sedang berdisco menarik perhatian saya. Goyangan tubuh mereka yang seronok menghidupkan khayalan saya. Kedua cewek tersebut terlihat masih muda, menurut taksiran saya, umur mereka masih di bawah dua puluh tahun.
Yang menarik perhatian saya adalah kedua gadis tersebut sangat berbeda. Gadis yang pertama memakai rok pendek berwarna hitam, rambutnya yang pendek dicat merah. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, sekitar 155 cm terlihat montok oleh tonjolan di dada dan pinggulnya. Gerakan mata dan tubuhnya sangat aktif dan liar. Temannya gadis yang memakai jeans ketat berwarna hitam terlihat sangat kalem. Tubuhnya tinggi, mungkin sekitar 165 cm, dan agak kurus. Tonjolan di daerah dadanya tidak mencolok. Rambutnya panjang dan hitam. Tatapan matanya sangat lembut, dan goyangan tubuhnya juga lemah lembut.
Saya sendiri lebih menyukai cewek yang kalem, karena itu gadis kedua lebih menarik perhatiaan saya.
"Gus, liat dua cewek tuh. Yang satu goyangnya asyik banget," kata Peter, sedikit berteriak.
"Ya, gua tau. Gua lebih suka yang tinggi," sahut gua.
"Payah loe, liat aja goyangannya. Ampunnnnnn...." kata Peter dilanjuti ketawa temen-temen gua.
"Kenalan tuh, ayo! Jangan asal ngomong aja," kata Guntur mencoba memanas-manasin kita.
Perhatian saya segera kembali ke kedua gadis tersebut. Terlihat beberapa orang cowok berjoget di samping mereka. Keliatannya mereka mencoba menarik perhatian kedua cewek tersebut. Bener aja, terlihat seorang cowok mengatakan sesuatu dan menjulurkan tangannya. Ternyata kedua gadis tersebut hanya tersenyum dan meneruskan jogetan mereka tanpa menghiraukan cowok tersebut. Haha... pikir gua dalam hati... malu dong!
"Keliatannya bukan cewek murahan," kata gua ke temen-temen gua, "mereka nggak mau kenalan tuh ama cowok di sampingnya."
Lima belas menit kemudian dua orang cowok lainnya mencoba mendekati mereka, lagi-lagi dicuekin. Dan tindakan cewek ini menarik minat saya soalnya ini merupakan tantangan. Biasanya cewek-cewek di diskotik cukup gampang diajak kenalan.
Cukup lama mereka berjoget dan akhirnya mereka berhenti dan berjalan ke arah meja kita. Dalam hitungan detik, mata saya yang tajam segera menangkap lirikan dan tatapan penuh arti dari mata cewek montok yang ditujukan ke arah Peter. Temen saya ini memang sangat tampan.
"Pet.... gua jamin mereka mau kenalan ama loe," kata gua ke Peter ketika mereka lewat.
"Ah... bisa aja loe," jawab Peter tidak percaya.
"Loe lupa kalo gua bisa membaca tatapan dan lirikan mata seseorang, ingat kejadian waktu SMA?" Kata saya mencoba menyakinkan dia. Sewaktu SMA saya juga memberitahukan Peter kalo ada cewek yang lagi memperhatikan dia dan ternyata bener, akhirnya cewek tuh menjadi pacarnya dia sewaktu SMA. Saya sangat sensitif dengan tatapan mata seseorang.
"Tapi mereka cuek tuh ama cowok," kata Peter ragu-ragu.
"Percaya dech ama gua. Mata tidak bisa menipu," jawab gua.
Akhirnya Peter mengajak saya untuk mendekati kedua cewek tersebut yang sekarang duduk di bar.
"Kenalan dong, nama saya Peter," kata Peter ke cewek yang bertubuh montok.
Kedua cewek tersebut menatap tajam ke saya, seakan-akan menyusuri pikiran dan hati kita.
"Hmmm, boleh kenalan?" ulang Peter, kali ini ada keraguan di suaranya.
"Shinta," jawab cewek yang bertubuh montok, singkat aja tanpa menjulurkan tangannya. Tatapan matanya dingin.
"Saya Agus," saya memperkenalkan diri saya, "dan kamu...?"
"Agnes," cewek yang tinggi kurus menjawab pertanyaan saya.
Akhirnya kita mengobrol dan semakin lama kita semakin akrab. Ternyata kedua cewek tersebut sangat kuat menenggak minuman keras. Kurang dari setengah jam, Shinta sudah menghabiskan tiga gelas Rainbow! Dan istimewanya, mereka menolak ketika Peter bermaksud membayar minuman mereka. Jarang saya menemukan gadis seperti ini di diskotik.


Bab III: Lelaki Bodoh/Baik?
02.30 Jalan Setiabudi, Bandung

Dua mobil beriringan memasuki kompleks bungalow yang sudah di-booking Peter. Saya melirik Agnes dan Shinta yang hampir tertidur.
"Gus, gua pengen muntah," kata Shinta. Saya bergegas membuka pintu dan memapah dia keluar. Kalo muntah di mobil saya kan berabe. Rupanya Shinta mabuk berat, dia sama sekali tidak bisa berdiri tegak. Baru berjalan dua langkah dia sudah memuntahkan isi perutnya. Bau asam terasa menyengat.
Temen-temen saya akhirnya membantu membopong tubuh Shinta. Saya kembali ke mobil. Agnes terlihat tertidur nyenyak. Perlahan saya menggoyang tubuhnya....
"Ayo, tidur di dalam, di sini dingin," bisik gua.
Dia cuman membuka matanya sebentar dan bermaksud untuk tidur lagi. Akhirnya dengan susah payah, berhasil membujuk dia untuk masuk ke bungalow yang terdiri dari 3 kamar tidur dan satu ruang tamu. Di ruang tamu hanya terlihat Guntur yang berbaring lemas di sofa.
Saya membawa Agnes menuju ruang tidur. Melewati ruang tidur pertama, saya melihat Peter, Ian, Stephen dan Andi mengelilingi Shinta yang berbaring di kasur. Tanpa pikiran apapun, saya membawa Agnes ke kamar kedua dan membaringkan dia di tempat tidur. Parfumnya tercium semerbak dan tubuhnya terasa hangat.
Karena merasa haus, saya melangkahkan kaki saya menuju mobil untuk mengambil aqua yang sudah kita persiapkan. Langkah kaki saya terhenti ketika melewati kamar pertama. Dari celah pintu yang tidak tertutup rapat, saya melihat keempat temen saya mengelilingi tubuh Shinta yang hampir telanjang. Walaupun tertutup oleh tubuh temen saya, pandangan mata sempat menyapu indah dan mulusnya tubuh Shinta. Saya berjalan masuk ke kamar tersebut.
Melihat saya, Ian membalikkan tubuhnya dan berbisik, "Dia mabuk Gus, tetapi kayaknya mau-mau aja tuh."
Saya berjalan mendekati kasur. Saat itu branya disingkap ke atas, memamerkan sepasang buah dadanya yang montok. Celana dalamnya yang berwarna hitam terlihat sudah diturunkan sampai ke lututnya. Bulu-bulunya yang tebal dibelai perlahan oleh Stephan seakan-akan dia membelai kucing.
Tiba-tiba terdengar gumanan Shinta, "Ah.... hehe.... sudah lama saya tidak bercinta, lelaki itu buaya.... semuanya.... termasuk kalian.... tetapi gua suka yang buaya.... hehe...."
"Shinta, kamunya masih perawan?" bisik Peter di telinganya.
"hehe... masih...." jawab Shinta dengan mata tertutup.
Temen-temen saya terpaku mendengar jawaban dia dan saling berpandangan, "tetapi itu tiga tahun yang lalu... hehehe....." lanjutnya kembali. Terlihat si Peter menarik nafas lega dan tersenyum.
"Mungkin bukan cewek baik-baik," bisik Ian ke saya.
Saya cuman berdiam diri.
Tidak terlihat adanya penolakan dari Shinta ketika temen-temen saya menyentuh buah dadanya yang lumayan montok. Bahkan terlihat dia menikmati, terbukti dari rintihan-rintihannya dan gerakan tubuhnya yang menggelinjang.
"Udah Gus, sikat Agnes aja," saran Peter, "kitanya mau giliran neh, loe mau ikutan?"
"Kagak mau, gua ada Agnes," jawab gua.
"Hati-hati loe, keliatannya dia nggak mabuk," komentar Ian.
Setelah itu temen-temen sepakat untuk menggilir Shinta dengan syarat yang lainnya menunggu di luar. Peter ngotot meminta giliran pertama dan disetujui temen-temen saya.
"Udah, punya saya yang paling panjang, jadi gua yang pertama," kata Peter, "punya gua ampe ke puser."
"Mungkin puser loe yang letaknya agak ke bawah," komentar si Stephan yang juga ngotot minta giliran pertama.
Tidak tertarik oleh debatan mereka dan dengan nafsu yang sudah bangkit, saya kembali ke kamar kedua. Setelah mengunci pintu kamar, saya berjalan menuju ranjang.
Agnes terlihat sudah tertidur pulas. Perlahan saya mencium pipinya, tiba-tiba membuka matanya yang terlihat merah dan mengantuk.
"Gus, saya pusing, pijatin dong," dia berkata pelan.
Saya duduk di ranjang dan Agnes menjatuhkan kepalanya di paha saya. Saya menggerakkan tangannya untuk memijat kepala dan dahinya. Dia menutup mata dan menikmati pijatan saya. Lima menit kemudian jari tangan saya turun memijat tengkuknya.
"Hihi... geli.... Gus, tapi enak," kata Agnes tanpa membuka matanya. Akhirnya saya memberanikan diri untuk mencium bibirnya yang ternyata dibalas dengan penuh nafsu oleh Agnes.
Masih dalam posisi Agnes berbaring di paha saya, ciuman kita berlanjut cukup lama. Akhirnya saya memberanikan untuk menyentuh buah dadanya. Jari-jari tangan saya menarik kaosnya keatas dan terlihatlah buah dadanya yang tidak terlalu besar, tertutup oleh branya. Dengan cekatan jari tangan saya menyusup ke dalam branya sambil meremas perlahan.
Ciuman si Agnes semakin liar dan buas. Kadang lidah saya diisap dengan penuh nafsu dan kadang digigit perlahan. Ketika jari tangan saya berhasil mencapai puncak sepasang gunung kembarnya, dia mendesah keras, "ah....."
Rintihan dan ciuman membuat nafsu saya menggelegak. Perlahan tangan saya menarik branya ke bawah, akhirnya sepasang gunung itu menonjol keluar, kecil dan mancung. Puncak kecil dan terlihat tegang menantang mulut saya untuk menikmatinya. Tanpa menunggu lama, saya menjulurkan kepala saya dan lidah saya sudah mempermainkan puncaknya.
Terganggu oleh kaos dan branya yang kadang menghalangi tatapan dan perjalanan lidah saya, tangan saya melepas kaosnya dan branya. Ciuman saya berlanjut ke perutnya dan bermain sebentar di titik tengah tubuhnya.
Setelah itu celana panjang dan celana dalam putihnya segera menjadi korban tangan saya. Dengan posisi berbaring menghadap ke samping, lidah saya berjalan menyusuri pahanya Agnes. Saat itu terasa sepasang tangan mungil Agnes berusaha melepaskan celana jeans saya. Terlihat dia bersusah payah walaupun akhirnya celana panjang dan celana dalam saya terlepas. Tangan-tangan Agnes menyentuh dan membelai belalai gajah saya yang sudah mengeras.
Paha Agnes masih tertutup rapat walaupun berkali-kali saya berusaha membukanya.
"Malu..... Gus..." kata Agnes sambil mempermainkan belalai gajah saya.
"Nggak papa kok... yang liat cuman saya kok," bujuk saya.
Cukup lama saya membujuk dia, akhirnya saat pahanya sedikit terbuka segera kepala saya menyeruak di antara pahanya. Diterangi lampu kamar yang lumayan terang, kemaluannya yang kecil mungil terpampang di hadapan saya.
Saat itu sebenarnya saya masih belum begitu berpengalaman dalam urusan puas-memuaskan wanita. Saya mencium perlahan kemaluan menyusuri bibir kemaluannya yang masih kencang, tanpa mengetahui titik titik sensitifnya (hehe... sekarang mah udah ahli). Bau kewanitaanya sangat merangsang. Pahanya tertutup mengepit rapat kepala saya.
"Ah......... gellllllliiiiiiiiii Gus, guaaaa nggak tahan," akhirnya dia menggerakkan pinggulnya ke belakang.
"Wah, geli Gus, gua nggak tahan, jangan dong," demikian pintanya.
"Ah, nggak pa-pa, bentar lagi juga enak," kata saya menggerakkan kepala saya menuju daerah kemaluannya lagi.
Tetapi dia menjauh dan berkata serius, "Jangan Gus, saya nggak tahan..... saya masih perawan. Saya tidak mau kehilangan keperawanan saya. Tolong, tolong... dech....."
Saya terdiam, saya memang tidak bermaksud merusak dia. Kalo memang dia mau mempertahankan keperawanannya, saya tidak akan memaksa dia.
"Iya..... " kata saya sedikit menyesal.
Melihat saya terdiam, rupanya ada rasa bersalah di hati Agnes juga. Dia mendekati saya dan mencium saya kembali. Tangannya mempermainkan belalai gajah saya. Dalam sekejap perasaan sesal berganti oleh nafsu yang bergelora.
Tiba-tiba Agnes mendorong saya untuk berbaring dan menduduki tubuh saya. Tubuhnya diangkat dan dia menggerakkan belalai gajah saya menggesek-gesek bulu kemaluannya yang masih halus, yang kemudian dilanjutkan di daerah kemaluannya. Rasanya sangat nikmat. Kadang dia mencoba memasukkan belalai tersebut di gua kenikmatannya yang masih tertutup rapat. Tetapi dia hanya memasukkan daerah kepala belalai tersebut, keluar-masuk, keluar masuk.
Mata saya tertutup menikmati perasaan hangat dan jepitan otot kemaluannya. Cukup lama dia melakukan hal tersebut. Akhirnya, dia menjatuhkan diri di samping saya.
"Capek Gus....." komentar dia.
Kasian, saya menggerakkan tubuh saya ke atas tubuhnya Agnes. Saya membuka kedua pahanya yang kali itu terbuka dengan mudah. Perlahan saya memasukkan belalai tersebut, tetapi cuman sebatas daerah kepalanya dan saya menggerakkannya keluar-masuk.
Agnes mendesis liar. Saat itu sebentar terlintas dalam pikiran saya untuk menghujamkan senjata saya sedalam-dalamnya dan mengambil keperawanan yang keliatan sudah dipasrahkannya. Tetapi perasaan kasian membuat saya tidak melakukan hal tersebut.
"Gus..... masukkin Gus... masukkin," akhirnya Agnes meminta saya untuk memasukkan semua belalai tersebut. Tetapi terlintas dalam pikiran saya betapa dia tadi dia mempertahankan keperawanan dia. Saya merasa kasian dan hanya memasukkan belalai tersebut sebatas kepalanya sambil sesekali memutar belalai tersebut.
Seperempat jam kemudian, sesudah terdorong keluar dari belalai tersebut. Dengan segera saya mencabut belalai tersebut dan muncratlah cairan hangat di sekitar kasur. Saya terbaring lemas sambil memeluk Agnes dengan nafas memburu.
Ketika nafas kita mulai teratur, Agnes berbisik perlahan, "Terima kasih Gus, kamu lelaki yang baik. Saya sebenarnya sudah tidak tahan dan merelakan keperawanan saya. Untung kamunya masih bisa menahan diri".
Saya cuman membelai rambutnya, tersenyum, dan berkata, "Berilah keperawanan kamu kepada cowok yang paling kamu cintai".
Itulah perkataan terakhir saya sebelum kita terlelap dan jam lima pagi, temen-temen saya mengajak saya untuk meninggalkan bungalow tersebut. dengan perasaan berdosa, saya meninggalkan Agnes dan Shinta saat mereka masih tertidur nyenyak.
Dalam perjalanan saya mengetahui bahwa keempat temen saya bergiliran meniduri Shinta. Tetapi mereka mengakui bahwa Shinta masih sadar dan menikmati permainan mereka.
Sesudah peristiwa berlalu, saya selalu berpikir, apa yang terjadi kalo seandainya saya mengambil keperawanan Agnes malam itu. Apakah saya akan menghancurkan masa depan dia? Apakah nggak ada bedanya, nanti juga akan diambil cowok lain? Bodohkah saya seperti kata temen saya? Atau baik kah saya seperti kata Agnes?
Yang pasti, menjadi lelaki bodoh kadang membuat kita bisa tidur lelap dan bebas dari rasa bersalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar